Wayang Kulit, Sebuah Kenangan

Masa kecil saya begitu kental dengan kesenian wayang kulit dan ketoprak. Pertama kali menonton pertunjukan wayang kulit secara langsung, seingat saya, ialah ketika seorang tetangga dekat saya, mantu salah seorang anak putrinya. Saat itu aku masih kecil. Selain jalan ceritanya, biasanya yang menjadi daya tarik sebuah pertunjukan wayang kulit, bagi saya, ialah banyaknya pedagang yang menjajakan berbagai makanan, minuman dan mainan.



Cara menikmati wayang kulit, selain dengan melihat pertunjukan, saya bisa menikmatinya melalui kaset, yang biasanya diputar ketika ada orang hajatan, diputar terutama pada malam hari. Sepertinya sudah membudaya di lingkungan saya manakala ada orang hajatan, disitu ada pemutaran wayang kulit, semalam suntuk. Acara tahunan, seperti malam satu syura, di daerah Bayat, Klaten biasanya diadakan pementasan wayang kulit. Juga di beberapa radio (baik RRI maupun swasta) pada malam-malam tertentu, secara rutin memiliki acara wayang kulit semalam suntuk dengan dalang-dalang ternama. Bapak saya ialah salah satu penggemarnya. Saya sering mendapati beliau, tertidur dengan radio di sampingnya melantunkan lakon wayang kulit.

Bagi saya, dalang ialah profesi yang unik dan dahsyat, karena seorang dalang bisa membuat vokal suara yang berbeda-beda pada setiap tokohnya. Selain itu juga mampu duduk dan membawa kisah sepanjang malam. Beberapa dalang yang sering kudengar kala itu, Ki Anom Suroto, Ki Warsito, Ki Warseno Slank, juga Ki Manteb Sudharsono. Adapun Ki Narto Sabdo ialah seorang dalang yang berasal dari daerah saya, Klaten. Selain mendalang, beliau juga merupakan pencipta sejumlah gending jawa.

Pertunjukan wayang adalah pertunjukan yang tidak murah, kala itu. Penanggapnya merupakan orang berada, sehingga tidak banyak orang yang mampu menghadirkan wayang kulit di kampung saya. Bahkan hingga saat ini fenomena ini masih ada. Ya, aku, masa kecilku, dan wayang adalah kenangan yang tidak terlupakan.

0 komentar:

Post a Comment