Sampaikan Kebenaran Walaupun Pahit



Setiap diri kita adalah da'i atau mubaligh (penyampai). Da'i bukan monopoli untuk para habib, syaikh, atau ulama. Setiap kita mempunyai kewajiban menyampaikan ilmu pengetahuan yang kita miliki atau ketahui. Tentunya kita pasti akan menerima konsekuensinya, entah itu jangka pendek maupun jangka panjang, entah itu saat ini atau nanti. Konsekuensi yang kita terima tentu ada dua macam, manis atau pahit. Memperhatikan ini, berikut saya sadur sebuah tulisan (dengan dipotong sedikit), dengan harapan semoga dapat menjadi penyemangat atau obat kala kita mendapat konsekuensi yang pahit dari kegiatan berdakwah kita.



Agama Itu Nasehat, Sampaikan Kebenaran Walaupun Itu Pahit


Assalamu 'alaikum wa Rohmatullahi wa Barokatuh...
Sahabat, menyampaikan kebenaran itu memang terkadang menuai konsekwensi yang pahit. Tidak jarang kita kemudian disalah fahami, dan bahkan kemudian menimbulkan kerenggangan dalam hubungan silaturahmi. Walaupun kebenaran itu sudah kita sampaikan dengan lemah lembut dan secara persuasif, akan tetapi tetap efek "MENTAL SHOCK" itu pasti ada. Karena apa yang kita sampaikan berbenturan dengan nilai-nilai yang selama ini dia yakini. Dan itu adalah fenomena yang wajar terjadi. Dan Sebagai Da'i, kita harus siap menghadapinya.

Reaksi dari orang yang mengalami "Mental Shock" atau "psychological shock" itu bisa bermacam-macam, tergantung tingkat ketahanan dan kelenturan mental masing-masing individu. Shock ini menggambarkan kondisi kaget atau merasa tidak menduga. Beberapa karakteristik yang ditampilkan dalam bentuk shock biasanya adalah reaksi-reaksi otomatis dalam tubuh misalnya tiba-tiba kepala pusing, emosi yang meluap-luap dalam bentuk : menangis, marah, kecewa, sakit hati, dendam, tersinggung, dll. Tinggi rendahnya shock yang mungkin dialami oleh individu bisa berbeda-beda dan tergantung pada kesiapan individu itu sendiri.

Nah, menghadapi hal yang demikian tentu kita harus bisa arif dan bijaksana dalam mensikapinya. Walaupun apa yang kita sampaikan itu adalah sebuah kebenaran, akan tetapi kesiapan mental seseorang untuk menerima kebenaran itu berbeda. Kita tidak boleh memaksakan kehendak kita padanya, karena itu artinya kita sudah dikuasai nafsu dalam menyampaikan kebenaran.

Sehingga dalam aplikasinya ketika kita menyampaikan sebuah nasehat kebenaran kepada seseorang dan ketika kita melihat bahwa yang kita sampaikan itu sudah menyentuh titik batas ketahanan mentalnya dan menimbulkan sedikit guncangan batin padanya, maka sebaiknya kita catat hal itu dan untuk selanjutnya kita pakai sebagai skala untuk mengukur tingkat kemampuan orang tersebut dalam menerima kebenaran. Dan untuk kemudian kita perkuat dulu, dia di skala itu jangan tergesa-gesa untuk menaikkan levelnya. Hingga tiba masanya ketika dia sudah cukup kuat dan siap untuk dinaikkan tahapnya ke tingkat kebenaran yang lebih tinggi.

Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah berpesan kepada Abu Dzar Al Ghifari agar mencintai orang miskin dan lemah dan supaya mengatakan yang benar meskipun pahit.

عَنْ اَبِى ذَرٍّ رض قَالَ: اَوْصَانِى خَلِيْلِى ص بِخِصَالٍ مِنَ اْلخَيْرِ. اَوْصَانِى اَنْ لاَ اَنْظُرَ اِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِى، وَ اَنْ اَنْظُرَ مَنْ هُوَ دُوْنِى. وَ اَوْصَانِى بِحُبِّ اْلمَسَاكِيْنِ وَ الدُّنُوِّ مِنْهُمْ، وَ اَوْصَانِى اَنْ اَصِلَ رَحِمِى وَ اِنْ اَدْبَرَتْ، وَ اَوْصَانِى اَنْ لاَ اَخَافَ فِى اللهِ لَوْمَةَ لاَءِمٍ، وَ اَوْصَانِى اَنْ اَقُوْلَ اْلحَقَّ وَ اِنْ كَانَ مُرًّا، وَ اَوْصَانِى اَنْ اُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ. فَاِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوْزِ اْلجَنَّةِ. الطبرانى و ابن حبان فى صحيحه و اللفظ له، فى الترغيب و الترهيب

Dari Abu Dzarr RA, ia berkata,
“Kekasihku Rasulullah SAW mewashiyatkan kepadaku dengan beberapa kebaikan. : 
Beliau mewashiyatkan kepadaku agar tidak melihat kepada orang yang diatasku dan supaya aku melihat kepada orang yang di bawahku. 
Beliau mewashiyatkan kepadaku supaya mencintai orang-orang miskin dan orang-orang yang lemah. 
Beliau mewashiyatkan kepadaku agar aku menyambung hubungan sanak saudaraku meskipun mereka berpaling. 
Beliau mewashiyatkan kepadaku supaya karena Allah aku tidak takut celaan orang yang mencela. 
Beliau mewashiyatkan kepadaku supaya aku mengatakan yang benar meskipun pahit (akibatnya). 
Dan beliau mewashiyatkan kepadaku supaya memperbanyak ucapan “Laa haula walaa quwwata illa billaah” (Tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah), karena ucapan itu merupakan simpanan dari simpanan-simpanan surga”. 
[HR. Thabrani dan Ibnu Hibban di dalam shahihnya dan lafadh ini baginya, dalam Targhib wat Tarhib 3: 337]


Agama itu nasihat.


عن أبي رقية تميم بن أوس الداري رضي الله عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ» قلنا: لمن؟ قال: «لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم». رواه مسلم

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim)

Ternyata dalam hadits ini rasulullah saw menggambarkan hakekat agama, yakni agama islam hanya dengan redaksi yang terdiri dari dua kata “Ad-dien An-Anasiihah” agama itu adalah nasehat. Kata “an-nasiihah” yang berasal dari kata dasar “an-nushu” yang berarti sesuatu yang bersih dan hubungan yang baik. Maka jika kita mengatakan “nashaha al-`asalu” maknanya madu itu murni bebas dari campuran bahan yang lain. Dan ketika ada seseorang berupaya menjahit bajunya yang robek, maka pekerjaan terebut diungkapkan dengan kata “nashoha”, maka hubungan seorang yang sedang menasehati dengan orang lain yang sedang dinasehatinya seperti orang yang sedang memperbaiki (menjahit) bajunya. Demikianlah kata “An-Nasihah” itu dipakai untuk mengungkapkan sebuah harapan yang baik yang diingkan terjadi pada orang yang dinasehati.

Demikianlah ketika para sahabat mendengar Rasulullah saw mengatakan agama adalah nasehat maka bereka bertanya, “nasehat untuk siapa”, ternyata rasulullah saw menyebutkan sekian banyak obyek nasehat ; Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin umat islam dan seluruh umat islam.

Nasehat untuk para pemimpin dan umat secara umum berarti kehendak baik dari nasih (yang menasehati) kepada mansuh (yang dinasehati), sebagaimana pengertian yang sering dipakai untuk mendefiniskan nasehat. Adapun nasehat untuk Allah ,Kitab dan Rasulullah, sesuai dengan asal katanya, yaitu adanya keserasian hubungan. Dimana seorang muslim yang memegang teguh agamanya akan mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, Kitab dan Rasul-NYa.

Maka yang dimaksud nasehat kepada Allah swt adalah beriman kepada-Nya, beribadah tanpa dicampuri dengan aktifitas kemusyrikan, ikhlas dalam melakukan segala ketaatan kepada-Nya, menjahui segala bentuk kemaksiatan, cinta dan benci kepada sesuatu karena DIA, mendukung kebaikan dan orang-orang baik dan begitu pula sebaliknya. Maka jika seorang muslim berpegang teguh dengan nilai-nilai ini manfaat baiknya akan kembali kepadannya baik di dunia maupun di akherat kelak.

Sedangkan Nasehat untuk kitab-Nya Adalah menunaikan hak kitabullah; Al-Qur’an, dengan menyakini bahwa Al-Qur’an kalamullah, mu’jizat terbesar diantara mu’jizat-mu’jizat yang pernah diberikan kepada para rasul, sebagai petunjuk dan cahaya. Selain itu juga membenarkan beritanya dan melaksanakan hukumnya. Maka seorang mukmin yang berpegang dengan nilai agamanya akan melakukakan hal-hal berikut ; membaca dan berusaha menghafal(menjaga)nya, meningkatkan kualitas bacaanya dengan lebih baik, mencoba mentadaburi kandungan maknanya, menunaikan pesan-pesan yang ada di dalamnya serta berupaya mendakwahkannya.

Adapun yang dimaksud nasehat untuk Rasul-Nya. Adalah beriman dan membenarkan apa yang dibawanya, mencintainya , taat kepadanya karena taat kepadanya adalah bagian dari taat kepada Allah swt, mempelajari dan mengajarkan sejarah perjalan hidupnya kepada generasi penerus, berupaya maksimal dalam meneladani beliau dan menegakkan sunnahnya.

Yang dimaksud dengan nasehat untuk para pemimpin, tercakup didalamnya penguasa dan ulama. Nasehat untuk penguasa pada intinya adalah mendukung kebaikan yang dicanangkanya dan sebaliknya mengingatkan mereka jika melanggar nilai-nilai kebenaran; membantunnya agar bisa menegakkan nilai-nilai keadailan dan ikut berusaha menjaga keutuhan umat, mendukungnya dalam menjalankan aturan yang benar serta merevisi aturan yang tidak tepat.

Sedang kepada ulama’ maka seorang muslim yang baik akan mencintai dan menghormati mereka, mendukung dakwahnya di jalan Allah, menyemangati mereka untuk mampu mengingatkan penguasa ketika salah, memberi masukan dan nasehat dengan cara yang baik jika mereka jatuh pada kesalahan, karena mereka juga masih manusia yang mungkin saja salah.

Point terahir yang disebut Rasulullah saw adalah nasehat untuk umat islam secara keseluruhan. Pada intinya kita diminta untuk memiliki kepedulain kepada mereka tidak hanya pada urusan materi tapi juga pada hal yang sifatnya non materi; mengarahkan mereka untuk menjalankan nilai agamanya, menasehati mereka agar tetap berada pada jalan yang lurus, mengembalikan mereka yang tersesat dari jalan kepada jalan yang benar, memberi mereka sumbangan ide-ide kebaikan jika mereka membutuhkan, menyemangati mereka untuk berani menghadapi hidup jika mereka terperosok kepada keputus asaan. Sebagian sahabat Rasul ada yang mengatakan :”jika kalian mau maka aku akan bersumpah atas nama Allah, bahwa hamba yang paling dicintai Allah adalah yang berupaya agar Allah mencintai mereka para hamba yang lain, dan berupaya agar para hamba itu mencintai Allah, mereka mengarungi kehidupan ini dengan senantiasa memberi nasehat”.

....
....
....

Sahabat, Di depan badai mungkin menghadang. Namun dengan kebersamaan dan persatuan yang lemah akan menjadi kuat, yang kecil akan menjadi besar, yang berat akan menjadi ringan, dan yang sulit akan menjadi mudah. Dalam kebersamaan yang pahitpun akan terasa menjadi manis. Semoga Allah menguatkan hati kita semua untuk senantiasa berkata yang benar meskipun akibatnya terasa pahit. Amin Ya Robbal 'Alamin...

Wallahu A'lam...

0 komentar:

Post a Comment